Merayakan ‘Semesta Dilan’ Lewat “Festival Dilan 1983 Wo Ai Ni”

Mengerucutkan artian festival menurut khasanah Bahasa Indonesia adalah acara/perayaan yang diadakan untuk merayakan/menghormati sesuatu yang melibatkan kegiatan sosial, budaya, dan hiburan. Festival sering kali mencakup pertunjukan musik, tarian, makanan khas, seni, dan kegiatan lainnya yang mencerminkan tema atau tujuan dari perayaan tersebut.

Mengamini hal tersebut, rasanya “Festival Dilan 1983 Wo Ai Ni” pun dibuat untuk merayakan dan menghormati Pidi Baiq dengan semesta yang dibuatnya di seri novel Dilan. Dilan yang pertama kali muncul ke permukaan dengan latar cerita tahun 1990, kali ini dibuat mundur jauh ke belakang ketika sang panglima tempur masih duduk di bangku sekolah dasar pada tahun 1983.

Orang dibalik cerita seri Dilan, Pidi Baiq

Bertempat di Paris Van Java (PVJ), Bandung pada hari Minggu, 9 Juni 2024, “Festival Dilan 1983 Wo Ai Ni” ini dibuat dengan konsep gala premiere yang tidak biasa, karena alih-aih hanya berkutat pada konferensi pers dan karpet merah, keriaan gala premiere ini dilengkapi pula oleh konser musik yang meriah. Selain itu, seakan mencoba menerjemahkan isi pikiran ‘Dilan’ yang penuh warna, festival ini dimeriahkan pula oleh penampilan dari teman-teman BMX, Barongsai, Marching Band, dan Cheerleader.

Berawal dari romantisme masa remaja yang dituliskan di blog pribadi, lalu dibukukan, hingga kemudian mencapai puncak popularitasnya ketika dibuat jadi film, Dilan kemudian menjadi tokoh yang hidup di hati penggemarnya. Hal tersebut sangat terasa ketika “Festival Dilan 1983 Wo Ai Ni” digelar. Semua yang datang sepakat jika semesta Dilan layak dirayakan. Kali ini mereka bersiap menyalakan mesin waktu ke tahun 1983 ketika Dilan masih berseragam putih merah.

Sekitar pukul 10 pagi festival dibuka dengan pertunjukan Barongsai. Hal ini seakan menebalkan cerita Dilan 1983 Wo Ai Ni yang berpusat pada kekaguman Dilan pada karakter bernama Mei Lien. Gadis keturunan Tionghoa ini menjadi perempuan pertama yang berhasil menaklukan hati Dilan, sebelum nantinya Dilan berkenalan dengan Milea dan Ancika. Dengan mengetengahkan Barongsai sebagai salah satu sajian di gelaran ini, tentu hal tersebut dibuat untuk menebalkan unsur Tionghoa yang menjadi ‘premis’ awal cerita ini dibuat. Lebih dari suka-sukaan anak SD, rasanya “Dilan 1983 Wo Ai Ni” pun mengetengahkan tentang ‘wajah’ Indonesia yang diisi banyak suku, budaya, serta ras beragam, termasuk dari kalangan etnis Tionghoa.

Menarik ketika menghubungkan ini dengan salah satu adegan di film “Dilan 1983 Wo Ai Ni” ketika Dilan berdiri di depan kelas dan menyebutkan nama-nama orang Tionghoa yang dia kagumi, dari mulai Bruce Lee hingga pebulu tangkis legendaris Indonesia, Liem Swie King. Ada pesan sangat dalam yang disampaikan dengan cara sederhana lewat adegan ini, bahwa sejatinya perbedaan seharusnya tidak menjadi kendala untuk kita bisa menjalani pertemanan dengan siapapun dari latar budaya dan ras yang berbeda.

Setelah pertunjukan Barongsai, acara kemudian diisi oleh marching band, cheerleader, hingga BMX street performance. Menggaris bawahi adanya aksi di atas sepeda BMX, hal tersebut juga menjadi sesuatu yang identik dengan “Dilan 1983 Wo Ai Ni”. Jika Dilan masa SMA identik dengan geng motor dan tunggangan kuda besi-nya, Dilan masa SD pun tidak mau kalah tampil dengan tunggangannya. Namun, karena tidak mungkin menampilkan anak SD kebut-kebutan dengan sepeda motor, maka kali ini Dilan SD ini cukup ‘ngebut’ dengan sepeda BMX nya saja. Tidak tanggung, The Panasdalam Bank bahkan sampai membuat lagu berjudul “Di Atas Sepeda” yang menjadi salah satu lagu soundtrack film “Dilan 1983 Wo Ai Ni”.

Dalam keriaan festival ini, ITB Press berkesempatan untuk bertartisipasi menjual merchandise Dilan 1983 Wo Ai Ni. Selain itu, ada juga booth dari Mizan yang menjual novel Dilan 1983 Wo Ai Ni. Antusiasme cukup terasa di booth merchandise maupun booth novel Dilan 1983 Wo Ai Ni. Beberapa ada yang datang  sendiri, lalu ada juga yang datang bersama keluarganya, sengaja ingin membeli buah tangan untuk anaknya.

Di area konser, sekitar pukul 11 siang, Ggggunawan + Somah dan Orang Dalam menjadi penampil pertama yang memanaskan panggung. Penampilan yang sederhana namun sanggup mengajak penonton merapat ke bibir panggung. Setelahnya, ada penampilan dari Ijay Irawan dan disusul oleh orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB). Penampilan ini menjadi menarik karena ketiga penampil menyuguhkan suguhan musik yang beragam dan penuh warna, dari mulai Ggggunawan + Somah dan Orang Dalam dengan folk-nya, lalu Ijay Irawan yang kental dengan nuansa blues rock-nya, sampai kemudian disusul oleh sajian musik orkes dari PHB.

Selesai penampilan PHB, acara kemudian dihebohkan para pemain film “Dilan 1983 Wo Ai Ni” yang memasuki area festival. Sontak para penggemar mulai berlomba-lomba mencari posisi terdepan untuk bisa dekat dengan para pemain film ini. Uniknya, para pemain seperti Muhammad Adhiyat, Ferdinand, dan beberapa pemain anak lainnya memasuki area festival dengan mengendarai sepeda BMX yang disambut iringan barongsai. Setelahnya, beberapa pemain didaulat untuk mencoba wahana carousels. Disana penggemar bisa menyapa langsung idolanya, sebelum akhirnya para pemain ini memasuki area bioskop untuk nonton bareng dan konferensi pers gala premiere film “Dilan 1983 Wo Ai Ni”.

Beranjak kembali ke area konser musik, ada penampilan dari Kunto Aji dan musisi legendaris Indonesia, Fariz RM. Kunto Aji dengan semua pembawaannya yang hangat sanggup membuat karaoke massal dengan lagu-lagunya, sampai kemudian giliran Fariz RM dan Crossroad yang memanaskan area konser.

Kolaborasi ‘dua generasi’ antara Fariz RM dan Crossroad menjadi sajian menarik, karena dengan musikalitas yang mumpuni mereka berhasil menggabungkan musik 80an yang diusung Fariz RM dengan musik ‘kekinian’ yang enerjik. Tidak mau kalah dengan musisi muda, Fariz RM masih menunjukan kelasnya sebagai musisi papan atas di tanah air. Beberapa solo keyboard yang disajikan Fariz sanggup mengundang decak kagum penonton. Olah suara 80an yang dimainkan Fariz membawa lamunan para penonton ‘dewasa’ kembali ke masa-masa mereka remaja. Seakan hal ini menguatkan latar waktu tahun 80an yang menjadi latar cerita film “Dilan 1983 Wo Ai Ni”.

Sekitar pukul 5 sore, para pemain film “Dilan 1983 Wo Ai Ni” memasuki area konser musik untuk bernyanyi bersama rombongan The Panasdalam Bank. Tak pelak hal tersebut mendatangkan kemeriahan di atas panggung, karena selain para pemain, hadir pula ‘the one and only’ Pidi Baiq. Sosok penulis yang bertanggung jawab terciptanya semesta Dilan ini tampil enerjik dengan The Panasdalam Bank. Beberapa kali terlihat keakraban sang penulis dengan para cast di atas panggung. Hangat dan meriah, sampai akhirnya Malea Emma (pemeran Mei Lien di film Dilan 1983 Wo Ai Ni) tampil bernyanyi membawakan lagu “Ini Suratku” (merupakan salah satu lagu soundtrack film Dilan 1983 Wo Ai Ni). Teriakan histeris penonton semakin menjadi ketika Muhammad Adhiyat (Pemeran Dilan) naik panggung dan memberikan bunga untuk Malea.

Menjelang maghrib, penampil terakhir, Juicy Luicy naik panggung membawakan sejumlah hits-nya. Band yang dikenal luas berkat lagu “Tanpa Tergesa”, “Lantas”, “Tampar” dan sejumlah hits lainnya ini menjadi penutup yang sukses membuat penonton larut dalam lagu-lagunya. Dengan basis penggemar yang besar, band ini sukses menutup “Festival Dilan 1983 Wo Ai Ni” dengan meriah. Hal ini nampak dari raut muka penonton yang sumringah sepanjang band ini membawakan lagu-lagunya. Film “Dilan 1983 Wo Ai Ni” dijadwalkan tayang secara nasional pada tanggal 13 Juni 2024. Ikuti terus update seputar film ini di berbagai sosial media yang mengulas tentang Dilan dan teman-temannya ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *