Dokumenter Musik Arus Pinggir: Membekukan Waktu Dengan Lentera Jiwa yang Menyala(k)

Januari 2007, Majalah Hai pernah memberi tajuk cukup provocatif dengan menuliskan “Menggugat Indie!” dalam cover majalahnya. Tajuk tersebut kemudian dibubuhi pertanyaan “beberapa tahun sudah gelombang indie berjalan, apa benar indie scene ini masih menggairahkan?”. Tujuh belas tahun sejak pertanyaan itu dilontarkan di cover majalah tersebut, beberapa orang masih melontarkan pertanyaan yang sama tentang apakah scene indie atau arus pinggir ini masih menggairahkan?

Pertanyaan tersebut coba dijawab oleh kolektif Kilas, atau dalam hal ini Fahmi Ramdhani (@bersamafahmi15), sebagai orang yang menginisiasi acara bertajuk “Bincang Santai Vol VII: Dokumenter Musik Arus Pinggir”. Acara yang digelar di ITB Press Store pada hari Rabu, 12 Juni 2024 ini seolah menjawab pertanyaan yang ditulis redaksi majalah HAI di atas. Bukan hanya menjawab, tapi beberapa orang yang hadir di gelaran ini memberi contoh konkrit jika arus pinggir masih tumbuh, bergeliat, dan menolak padam lewat tangkapan lensa kamera mereka masing-masing. Tak terkecuali dua narasumber yang didaulat untuk berbagi pengalaman mereka malam itu, Irfan Nasution (@visualbanal) & M. Muklis Aditya (@adityasadut) yang mengamini hal tersebut.

Dokumentasi. Hal itu kemudian menjadi satu hal paling konkrit untuk menjawab apakah musik arus pinggir masih menggairahkan atau tidak. Nyatanya gigs masih digelar, panggung-panggung masih berdiri dan menjadi ‘dunia’ para musisi untuk berlaga. Setidaknya itulah yang ditangkap lensa kamera para fotografer ini, termasuk Irfan Nasution yang sejak 2017 lalu menjadi fotografer untuk band Komunal.

Menarik ketika Irfan menuturkan cerita tentang awal kedekatannya dengan para personil Komunal. Karena sama-sama dari Sumatera, akhirnya kedekatan kultural itu lah yang mendekatkan Irfan dengan Komunal. Uniknya, Irfan tidak sendiri, karena banyak juga para fotografer lain yang ikut/menjadi official fotografer sebuah band diawali karena pertemanan. Jika harus sedikit berasumsi atau ‘menganalisa gembel’, mungkin hal tersebut yang membuat musik arus pinggir itu masih ada hingga hari ini. Kedekatan personal dan spirit yang diawali pertemanan lah yang akhirnya membuat musik arus pinggir ini hidup. Mereka berangkat dengan yang mereka percaya jika dengan ‘passion’ yang menyala karya itu bisa terasa ‘hidup’. Hal itu kemudian dicetak tebal oleh para musisi dan orang-orang dibalik layar seperti para pekerja visual ini.

Senada dengan Irfan, M. Muklis Aditya juga mengawali terjun di dunia visual karena pertemanan dan lingkaran kreatif yang membuatnya memilih jalan disini. Meski tidak menutup pintu untuk tawaran dari arus utama, tapi beberapa orang yang berkelindan dengan arus pinggir percaya jika meski memilih jalan terjal berbatu, selama itu dilewati dengan cara yang menyenangkan rasanya semua baik-baik saja, dibanding jalan mulus yang dilewati tanpa melibatkan hati di dalamnya.

Sadut biasa M. Muklis Aditya disapa menceritakan pengalamannya ketika terlibat dalam pembuatan video musik “Paradoks” dari band Burgerkill. Menurutnya improvisasi di lapangan menjadi hal yang tidak terelakan ketika membuat video musik. Namun hal tersebut tidak lantas membuatnya mundur, tapi menjadi trigger untuk membuat karya yang baik, apalagi ketika itu dia berhadapan dengan (alm) Eben Burgerkill yang dikenal perfeksionis dan terkenal dengan kutipan khasnya, “lamun teu yakin keren, kajeun teu kudu” (kalau tidak yakin keren, mending gak usah-red). Selain itu, jika bicara Burgerkill, bisa dibilang band tersebut merupakan salah satu band yang sangat concern dengan pendokumentasian, hingga tidak heran jika namanya jadi begitu besar. Selain musiknya yang memang jempolan, rasanya dengan pendokumentasian yang rapi dan bagus secara tidak langsung bisa menjadi branding yang kuat hingga membuat namanya muncul ke permukaan.

Hal menarik lainnya dari gelaran “Bincang Santai Vol VII: Dokumenter Musik Arus Pinggir” adalah tentang pemaparan Irfan soal sisi menarik foto ‘dibalik panggung’, serta pentingnya teks dalam foto untuk memberi konteks agar foto tersebut lebih punya ‘nilai’. Beberapa slide foto yang ditampilkan Irfan malam itu menjadi gambaran jika foto harus bisa ‘bercerita’. Bahkan tidak jarang foto yang mungkin secara visual terlihat biasa namun ketika dibubuhi cerita di dalamnya jadi bisa terasa ‘hidup’. Hal tersebut bisa menjadi penting bagi orang yang menggemari musisi/band tersebut.

Jika Irfan menyoroti tentang sisi menarik foto dibalik panggung dan pentingnya konteks dalam foto, maka Sadut memaparkan tentang sisi menarik dari proses dibalik pembuatan video musik. Menurutnya hal itu menjadi menarik karena baik itu penggemar atau pun pekerja visual perlu tahu ada apa dibalik estetika menarik sebuah video musik. Sebelum video itu akhirnya rilis dan dinikmati banyak orang, tentu untuk mencapai itu ada serangkaian proses yang melelahkan. Ketika ditangkap lensa kamera hal itu jadi sebuah cerita tersendiri yang menarik.

Sekitar dua jam acara berlangsung, pada akhirnya semua sepakat jika dokumentasi arus pinggir perlu dan penting, tidak hanya sebagai romantisme saja, tapi juga sebagai bukti konkrit jika scene ini ada dan perlu disiarkan. Dari sosial media hingga media ‘indie’ yang digagas teman-teman di lingkaran ini, rasanya semua perlu mengambil peran untuk bahu membahu menghidupkan ‘lentera jiwa’ yang mereka percaya. Untuk ‘dunia’ yang mereka yakini bisa membuat mereka ‘lebih hidup’. Angkat topi!

Teks: Wenky Wiradi

Foto: Sinda Muhamad Hupron (@ajawski)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *