Acara Business Talks and Tunes 2025! yang digelar pada Jumat, 23 Mei 2025, di Conclave Bandung, Jl. A. Yani No. 134–136 yang digelar oleh KMM ITB, menjadi salah satu momen penting yang mempertemukan para pemikir kreatif dan pelaku industri bisnis dalam sebuah diskusi yang penuh inspirasi. Dimulai pada pukul 16.30 WIB, acara ini dibuka dengan penampilan dari Gracia Aprilia Hosanna yang berhasil menghadirkan atmosfer hangat dan membangun antusiasme peserta yang hadir sejak awal.
Sebagai pembicara dalam sesi pertama, hadir dua sosok inspiratif yang memiliki latar belakang unik di dunia musik dan kini aktif sebagai pelaku bisnis: Alga Indria, CEO ITB Press dan vokalis dari band The Panasdalam Bank, serta Grahadea Kusuf, Co-Founder sekaligus CEO Kuassa Audio Tech yang juga dikenal sebagai personel band elektronik HMGNC (Homogenic-red). Sesi ini dipandu oleh moderator Aninditaputri Daniswara, yang membawa diskusi ke arah yang tajam dan menyentuh sisi personal dari para pembicara.
Alga bercerita tentang keterlibatannya di berbagai unit kegiatan mahasiswa semasa kuliah di FSRD ITB, termasuk menjadi panitia Pasar Seni ITB, sebuah acara seni terbesar yang tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga memiliki gaung hingga Asia Tenggara. Dari pengalaman tersebut, terbentuk karakter dan pola pikirnya dalam menghadapi tantangan saat dipercaya memimpin ITB Press. Ia harus membawa lembaga tersebut melewati masa transisi dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) menjadi sebuah badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT), dengan berbagai kompleksitas di dalamnya. Namun, melalui semangat inovasi dan pendekatan kreatif, Alga mampu mendorong ITB Press menuju kinerja yang semakin positif dari waktu ke waktu.
Sementara itu, Grahadea atau yang akrab disapa Dea, membagikan perjalanannya dari dunia musik ke ranah teknologi audio. Sebelum dikenal sebagai anggota HMGNC, Dea pernah menjadi bagian dari band pop punk bernama Disconnected yang tercatat sebagai salah satu band lokal pertama (khususnya di scene pop punk-red) yang mengintegrasikan bebunyian synthesizer ke dalam aransemen musik mereka. Kecintaannya terhadap teknologi musik terus berkembang hingga akhirnya ia mendirikan Kuassa, sebuah perusahaan pengembang perangkat lunak audio yang kini telah menjalin kerja sama dengan banyak klien dari berbagai negara. Dea menekankan pentingnya menjadikan minat dan keahlian sebagai dasar untuk membangun bisnis, serta selalu terbuka terhadap teknologi terbaru sebagai strategi bertahan dan berkembang.
Memasuki sesi kedua, diskusi menjadi semakin hangat dengan kehadiran Pidi Baiq, seniman multitalenta dan sosok di balik karakter ikonik Dilan, serta Aditya Kusumapriandana, Co-Founder Infia Group yang juga dikenal sebagai tokoh penting dalam industri Intellectual Property (IP) di Indonesia. Sesi ini dipandu oleh Adrian Ariatin, seorang dosen di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB, yang berhasil menjaga alur diskusi tetap dinamis dan padat makna.
Pidi Baiq membagikan bagaimana dirinya selama ini dikenal sebagai sosok yang berpikir bebas, bahkan seringkali di luar pakem. Hal tersebut tidak hanya tercermin dalam karya-karyanya, tetapi juga dalam caranya memahami potensi IP dari setiap karakter atau cerita yang ia ciptakan. Ia menyebut bahwa karya yang lahir dari proses kreatif harus dilindungi dan diurus sebagaimana mestinya. Pidi mengibaratkan dirinya dan The Panasdalam sebagai bunga-bunga liar di pinggir jalan yang bisa dipetik siapa saja, namun seharusnya dirawat agar tidak sembarangan diambil dan tetap bisa tumbuh dengan indah. Di sinilah peran pengelolaan IP menjadi penting, agar hasil kreativitas memiliki nilai ekonomi sekaligus perlindungan hukum.
Aditya kemudian melanjutkan dengan kisah di balik kesuksesan Tahilalats, komik digital karya Nurfadli Mursyid yang semula mengalami kesulitan dalam mengembangkan potensi IP-nya. Kehadiran Infia Group sebagai partner strategis membawa perubahan signifikan bagi Tahilalats, yang kemudian berkembang menjadi salah satu IP lokal yang diperhitungkan dan telah merambah berbagai bentuk ekspansi, mulai dari merchandise hingga kerja sama komersial. Menurut Adit, banyak karya kreatif di Indonesia yang memiliki potensi besar namun belum mendapat pendampingan yang tepat dalam hal pengembangan dan perlindungan hak kekayaan intelektual.
Selain sesi talkshow yang menggugah pemikiran, acara ini juga menghadirkan berbagai pengalaman menarik lainnya seperti hiburan musik serta photobooth yang dirancang dengan estetika visual kekinian. Unsur visual ini menjadi daya tarik tersendiri, mengingat kecenderungan generasi muda saat ini yang sangat memperhatikan nilai estetika dalam unggahan media sosial.
Tak kalah menarik adalah kehadiran tenant-tenant makanan dan minuman yang dikelola oleh mahasiswa. Inisiatif ini menjadi contoh nyata bagaimana para mahasiswa belajar memulai dan mengembangkan bisnis dari skala kecil, sekaligus menunjukkan bahwa semangat berwirausaha bisa dimulai dari hal-hal sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Di dalamnya juga tersirat semangat kolaborasi, keberanian untuk mencoba, dan kepekaan terhadap tren pasar. Terakhir, ada pemberian sertifikat kepada PT Curaweda Palagan Innotech, Heroine, Doeloer Coffee, PT Ngadur Bakti Solusi, dan Seraya Indonesia as the Top 5 Company in Business Talks and Tunes Pitching Day yang digelar pada 1 Desember 2024 lalu.
Acara ini menjadi ruang pertemuan yang kaya makna antara pelaku industri, akademisi, dan mahasiswa dalam membicarakan masa depan bisnis kreatif di Indonesia. Business Talks and Tunes 2025! bukan sekadar forum diskusi, tetapi juga refleksi bersama tentang bagaimana kreativitas, teknologi, dan visi jangka panjang dapat membentuk fondasi bisnis yang berkelanjutan dan berdampak luas.