Literasi Digital dan Dinamika Karier

Penulis: Etti Suharti, Universitas Taruna Bakti, Program Studi Seni Musik/S1

Penulis memulai karier sebagai sekretaris pada akhir tahun 1991, sebuah masa ketika sistem kerja masih sangat bergantung pada teknologi analog. Saat itu, mesin tik manual dan elektrik masih digunakan, lengkap dengan kertas karbon dan cairan koreksi (ti-ex) untuk memperbaiki kesalahan ketik. Komunikasi dilakukan melalui surat pos, faksimile (fax), telex, dan telepon kabel. Penyebaran informasi internal dilakukan secara fisik oleh petugas khusus, dicatat dalam buku log, dan memerlukan tanda tangan penerima. Presentasi disampaikan menggunakan proyektor transparansi (OHP/Overhead Projector) dengan lembar transparan. Seluruh proses kerja berlangsung secara lambat dan padat tenaga. Seiring waktu, penulis beralih profesi menjadi dosen dan menjadi saksi langsung berbagai transformasi besar dalam dunia kerja, khususnya dalam hal teknologi dan literasi digital.

Sekitar tahun 1993, internet mulai masuk ke lingkungan kerja. Penulis masih ingat percakapan dengan seorang teknisi internet yang mengatakan, “Jika internet bisa dipakai untuk telepon, Telkom bisa tutup.” Saat itu, pernyataan itu terdengar berlebihan. Namun nyatanya, perubahan besar memang terjadi. Internet perlahan-lahan menggantikan banyak fungsi komunikasi tradisional. Awalnya, koneksi dilakukan dengan dial-up, menggunakan modem dan saluran telepon. Aktivitas digital terbatas pada browsing sederhana, email, dan chatting melalui platform seperti Yahoo Messenger.

Peran sebagai sekretaris pun mengalami pergeseran besar. Mesin tik tergantikan oleh komputer, surat fisik digantikan oleh email, dan distribusi manual berubah menjadi digital. Informasi yang dulunya dicetak dan dibagikan secara fisik kini cukup dikirimkan melalui beberapa klik. Manajemen arsip beralih ke sistem digital, baik melalui folder komputer maupun penyimpanan cloud. Semua ini tidak hanya mempercepat pekerjaan, tetapi juga mengubah cara berpikir dan mengelola informasi.

Pada tahun 2004, penulis memulai babak baru sebagai seorang pendidik. Masa ini bertepatan dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan munculnya media sosial generasi awal seperti Friendster, Facebook, dan YouTube. Literasi digital menjadi semakin penting, tidak hanya sebagai keterampilan tambahan, tetapi sebagai kebutuhan utama. Media sosial memungkinkan interaksi dua arah, berbagi informasi, serta membangun komunitas. Blog dan vlog menjadi media baru untuk berekspresi dan berbagi pengetahuan.

Seiring waktu, internet tidak hanya digunakan untuk komunikasi sosial, tetapi juga merambah ke berbagai bidang seperti e-commerce, perbankan digital, dan dompet elektronik. Dalam dunia pendidikan, pendekatan konvensional seperti ceramah, papan tulis, dan OHP mulai tergantikan oleh presentasi digital, video pembelajaran, serta platform daring seperti Google Classroom dan Moodle. Penulis mulai memanfaatkan media digital untuk menyampaikan materi, baik yang dibuat sendiri maupun dari sumber terpercaya seperti YouTube dan platform edukatif lainnya.

Salah satu kemajuan paling berarti adalah kemudahan dalam mengakses sumber-sumber ilmiah. Kini, penulis dapat mengakses jurnal nasional dan internasional melalui platform seperti Google Scholar, Scopus, atau database digital lainnya. Materi ajar berupa e-book, artikel, dan video bisa diperoleh secara instan. Bahkan, teknologi berbasis kecerdasan buatan seperti Grammarly atau ChatGPT turut membantu dalam pengajaran.

Transformasi dari era analog ke era digital bukan hanya perubahan alat, tetapi juga perubahan budaya kerja dan pola pikir. Penulis merasa beruntung menjadi saksi sekaligus pelaku dalam proses panjang ini. Pengalaman melalui berbagai fase perkembangan teknologi telah memperkaya wawasan dan membentuk kemampuan adaptasi yang kuat terhadap perubahan zaman.

Namun, perjalanan ini belum berakhir. Dunia digital terus bergerak cepat, menghadirkan inovasi-inovasi baru yang menuntut pembelajaran berkelanjutan. Sebagai pendidik, penulis menyadari bahwa kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan utama agar tetap relevan dan dapat memberikan kontribusi positif bagi generasi yang dipandu.

Referensi:

Afandi, J., & Afriani, R. (2016). Implementasi digital-age literasi dalam pendidikan abad 21 di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains, 3(0), 2016–2113. https://jurnal.fkip.uns.ac.id/indes.php/snps/article/view/9820

Kemendikbud. (2017). Panduan Gerakan Literasi Nasional: Literasi Digital. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Nasrullah, R. (2014). Komunikasi digital. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Sari, D. A., & Wibowo, A. (2015). Perkembangan teknologi komunikasi di lingkungan perkantoran Indonesia. Jurnal Administrasi Perkantoran, 10(2), 123–124.

Wijaya, A. F., & Sari, I. G. A. M. A. (2021). Literasi digital dan implikasinya terhadap pendidikan. Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK), 3(1), 45–50. https://ejournal.unib.ac.id/index.php/jpdk

Yuliana, S. (2015). Dampak penggunaan teknologi perkantoran dalam menunjang efektivitas kerja. Neliti. https://media.neliti.com/media/publications/155327-ID-dampak-penggunaan-teknologi-perkantoran.pdf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *