Menyikapi Lelah Mental Bersama Humaira

Sudah sejak lama ruang aman untuk saling berbagi menjadi kebutuhan yang tak bisa diabaikan, terlebih di tengah kesibukan yang kian padat dan tekanan hidup yang semakin kompleks. Dari kegelisahan itulah, sebuah kelompok kecil mulai terbentuk. Bukan sebagai komunitas formal dengan struktur yang kaku, melainkan sebagai ruang pertemanan yang tumbuh alami, berangkat dari obrolan-obrolan santai yang ternyata mengarah pada keresahan yang sama: tentang kesehatan mental dan bagaimana cara menjaganya.

Hal itu pulalah yang kemudian menjadi tema besar dari acara diskusi yang digelar di ITB Press Store, pada hari Kamis, 22 Mei 2025 bersama kolektif Humaira. Humaira sendiri bukan organisasi besar atau komunitas resmi, melainkan kumpulan teman yang awalnya saling terhubung lewat grup WhatsApp. Dari ruang obrolan virtual itulah, mereka mulai merangkai diskusi yang lebih serius dan akhirnya bertemu langsung untuk saling berbagi cerita dan keresahan yang ternyata banyak dialami bersama.

“Kita baru mulai kumpul-kumpul secara langsung sekitar dua minggu yang lalu,” ujar Rifda, salah satu anggota Humaira yang kini telah menyelesaikan pendidikan di Institut Kesehatan Rajawali (dulu bernama Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Rajawali-red) dan sedang memasuki dunia kerja. Menurutnya, kelompok ini terbentuk dari keakraban yang tumbuh secara natural, berawal dari nongkrong bareng, lalu berkembang menjadi ruang berbagi yang bermakna.

Anggotanya berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang masih kuliah, ada pula yang sudah bekerja. Mereka sering berkumpul dan berbicara tentang banyak hal, mulai dari keresahan pribadi hingga persoalan sosial yang sedang marak. Dari percakapan-percakapan itulah, mereka menyadari bahwa ada satu hal yang kerap dirasakan bersama: kelelahan mental yang tidak selalu mudah dikenali, bahkan oleh diri sendiri.

“Banyak yang capek, tapi nggak tahu itu capek fisik atau mental. Karena nggak tahu, akhirnya dipendam. Lama-lama bisa jadi lebih berat, bahkan bisa berkembang jadi kecemasan atau depresi,” tutur Rifda.

Kegiatan yang mereka adakan sore itu tak lain adalah sebuah forum kecil yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Selain sesi berbagi pengalaman secara terbuka, ada pula diskusi dua arah dalam kelompok kecil yang membahas kasus-kasus nyata yang relevan. Para peserta diminta untuk menganalisis, mengevaluasi, dan merumuskan cara-cara yang bisa dilakukan ketika menghadapi kelelahan mental, baik pada diri sendiri maupun orang lain.

“Lewat diskusi ini, kita ingin saling belajar. Kalau suatu saat kita ketemu teman yang terlihat mulai lelah secara emosional, kita tahu harus gimana. Atau kalau itu terjadi pada diri sendiri, kita juga lebih paham langkah awal yang harus dilakukan,” tambah Rifda.

Salah satu solusi yang banyak dibahas dalam pertemuan tersebut adalah journaling, atau menulis jurnal harian sebagai bentuk refleksi dan ekspresi diri. Namun tentu tidak berhenti di sana. Curhat kepada teman terdekat, mengambil waktu istirahat, melakukan hobi, hingga memberi tubuh asupan sehat dan rutin berolahraga juga menjadi bagian dari langkah-langkah penyembuhan yang bisa dilakukan siapa saja.

Ia pun menegaskan bahwa harapan utama dari pertemuan ini bukan sekadar agar peserta paham secara teoritis, melainkan agar mereka memiliki kepekaan dan kepedulian yang tumbuh nyata dalam keseharian. “Harapannya sederhana. Kita bisa lebih peka, saling menjaga, dan saling menyadarkan. Mulai dari lingkungan yang paling dekat dulu aja,” ujarnya.

Kisah terbentuknya Humaira menjadi pengingat bahwa ruang berbagi tidak harus besar atau rumit. Bahkan dari percakapan ringan di grup WhatsApp pun, bisa lahir sebuah gerakan kecil yang membawa dampak besar bagi jiwa-jiwa yang membutuhkan ruang aman untuk merasa didengar dan dipahami

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *