Brain Rot & Media Sosial: Mengelola Pikiran di Dunia Maya

Pada hari Jumat, 31 Januari 2025, ITB Press Store menjadi tuan rumah bagi sebuah diskusi menarik yang mengangkat tema “Pengaruh Media Sosial dengan Brain Rot”. Acara ini berhasil menarik perhatian peserta yang ingin memahami lebih dalam tentang bagaimana media sosial memengaruhi otak dan kesehatan mental kita di era digital ini. Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah pembicara, di antaranya Viko Hanafi (Devonic Agency), Anisa Nur Sajidah (Suara Isolasi), dan Rakean Radya Al Barra (Nyarita Bandung), yang memaparkan berbagai perspektif mengenai dampak media sosial terhadap kemampuan berpikir kritis dan kesejahteraan mental.

Pada pembukaan acara, moderator Hagi Lukasyah, S.IP., memperkenalkan topik yang sangat relevan dengan kondisi saat ini, yaitu bagaimana media sosial yang kita konsumsi setiap hari bisa berdampak pada otak kita. Di era digital yang semakin berkembang pesat ini, kita dikelilingi oleh informasi yang datang tanpa henti. Setiap detik ada konten baru yang masuk ke dalam ponsel kita, menawarkan segala jenis informasi mulai dari berita hingga hiburan. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah informasi yang kita terima benar-benar bermanfaat bagi kita, atau justru berdampak negatif pada fungsi otak kita?

Salah satu fenomena yang menjadi sorotan dalam diskusi ini adalah “brain rot,” sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penurunan kemampuan kognitif akibat kebiasaan konsumsi informasi yang berlebihan dan tidak berkualitas. Kebiasaan untuk terus-menerus mengonsumsi konten media sosial yang datang dengan cepat dan instan telah mengubah cara kita berpikir. Ketika kita terus-menerus disuguhkan dengan informasi yang mudah dicerna, otak kita kehilangan kemampuannya untuk berpikir mendalam. Alih-alih mencerna informasi dengan seksama, kita justru lebih sering tergoda untuk melanjutkan menggulir feed media sosial tanpa berpikir kritis.

Dalam diskusi ini juga dibahas mengenai dampak negatif dari algoritma media sosial yang dirancang untuk mendorong konsumsi konten secara terus-menerus. Algoritma ini cenderung memberikan informasi yang semakin cepat dan terus berlanjut, mendorong pengguna untuk terus berada di platform tanpa jeda. Hal ini menyebabkan ketergantungan pada informasi yang datang dalam jumlah besar, yang pada akhirnya menurunkan kapasitas otak untuk memproses informasi secara mendalam.

Selain itu, perilaku yang semakin marak belakangan ini, seperti “doomscrolling,” juga turut disorot dalam diskusi tersebut. Doomscrolling adalah kebiasaan menggulir konten yang sering kali bersifat negatif, seperti berita buruk atau kejadian-kejadian yang penuh dengan ketegangan. Perilaku ini bukan hanya berdampak buruk pada kesehatan mental, tetapi juga mengurangi kemampuan kita untuk berpikir dengan jernih. Ketika kita terpapar informasi negatif secara terus-menerus, kita cenderung merasa cemas, stres, dan bahkan terjebak dalam pola pikir negatif. Fenomena ini tentu saja mengganggu kemampuan kita untuk berpikir kritis dan merusak keseimbangan emosional kita.

Namun, meskipun media sosial memiliki banyak dampak negatif, diskusi ini juga menyarankan agar kita tidak menjauhi media sosial secara total. Dengan pendekatan yang bijak, media sosial dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk memperluas wawasan dan berbagi informasi yang bermanfaat. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengelola waktu yang dihabiskan di media sosial dan memilih konten yang berkualitas.

Diskusi ini menekankan pentingnya untuk memiliki kesadaran penuh akan cara kita menggunakan media sosial. Waktu yang dihabiskan harus dikelola dengan baik, dan konten yang dikonsumsi harus dipilih dengan lebih selektif. Alih-alih terjebak dalam konsumsi informasi yang instan, kita harus lebih sadar akan dampaknya terhadap kesehatan mental dan kognitif kita.

Selain itu, acara ini juga mengingatkan kita akan pentingnya mencari keseimbangan dalam kehidupan digital dan dunia nyata. Meskipun media sosial dapat memberikan banyak manfaat, kita perlu meluangkan waktu untuk berinteraksi secara langsung dengan orang lain, serta memberikan ruang bagi diri sendiri untuk beristirahat dari informasi yang berlebihan.

Dengan diskusi ini, para peserta diajak untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial, agar tidak terjebak dalam “brain rot” yang dapat merusak kemampuan berpikir kritis dan kesejahteraan mental kita. Acara ini menegaskan bahwa, di tengah derasnya arus informasi yang datang dari dunia maya, kita harus tetap mempertahankan kontrol diri dan menjaga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *